Awalnya Curhat (Cerpen Teenlit)
gambar: guetau.com
“Kak, nanti sore kita ketemu di cafe.” Suara Vani terisak, terdengar dari seberang telpon. Sejurus kemudian ia langsung menutup sambungan teleponnya.
“Kak, nanti sore kita ketemu di cafe.” Suara Vani terisak, terdengar dari seberang telpon. Sejurus kemudian ia langsung menutup sambungan teleponnya.
Pasti ia sedang dalam masalah. Apa jangan-jangan si Rivan berulah lagi? Hmm... Aku menghela nafas panjang. Vani memang sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Semua masalah yang ia alami pasti Ia share. Tak ada sekat di antara kami.
Malam itu sedang berlangsung acara
apel malam kegiatan pramuka kemah bakti yang diadakan sekolahku. Kebetulan Vani yang bertugas menjaga tenda selama apel berlangsung, dan aku sebagai kakak pembina sedang bertugas mengontrol tenda. Saat aku hendak mengontrol tenda Vani, kudapati dua orang kawannya sedang terbaring lemah.
apel malam kegiatan pramuka kemah bakti yang diadakan sekolahku. Kebetulan Vani yang bertugas menjaga tenda selama apel berlangsung, dan aku sebagai kakak pembina sedang bertugas mengontrol tenda. Saat aku hendak mengontrol tenda Vani, kudapati dua orang kawannya sedang terbaring lemah.
“Tantri dan Nanda sakit perut, Kak. Mungkin tak tahan dengan air di lumbung sebelah.” Vani mencoba menjelaskan sebelum aku bersuara. Suaranya lembut. Wajahnya tampak manis dengan terpaan cahaya yang seadanya.
Aku mencoba masuk memastikan kondisi mereka tidak parah. “Apa mereka sudah makan?”
Vani mengangguk. Bersamaan dengan itu, saat aku mencoba duduk, kurasakan dari belakang ada sesuatu yang merayap di tanganku. Sebelum aku betul sadar, tanganku disengat oleh seekor kalajengking.
Sedari kecil aku memang alergi berat dengan kalajengking. Pernah suatu siang aku bermain di kebun bersama kawan-kawanku. Pepohonan, semak dedaunan kering adalah wahana permainan terbaik masa kecilku. Namun naas, aku kurang waspada hingga tersengat seekor kalajengking hitam seukuran jempol orang dewasa. Aku hanya bisa teriak kesakitan hingga tak sadarkan diri, sampai dirawat di klinik beberapa hari.
Peristiwa apel malam di perkemahan itu nampaknya membuat Vani merasa bersalah karena membiarkan tendanya tidak rapi hingga disinggahi serangga. Dia semakin bersalah karena sebagiaan besar kegiatan perkemahan yang merupakan tanggung jawabku batal terlaksana. Ia pun sering mengunjungi, menjenguk, membawakan makanan untukku. Kami semakin dekat dan hubungan kami semakin erat meski hanya sebatas adik-kakak kelas.
Ia sering bercerita apa saja kepadaku. Termasuk soal hubungannya dengan Rivan yang sudah berlangsung sejak SMP. Menurutnya aku selalu bisa memberi solusi atas permasalahannya, minimal bisa menenangkannya saat masa-masa sulit. Apalagi orang dulu mengenalku mempunyai hubungan percintaan yang harmonis dengan mendiang Ratna, mantan kekasihku. Mungkin ini yang membuatnya menjadikanku panutan dalam hubungan asmara.
Vani tampak duduk temenung di sudut cafe. Jus jeruk yang ia pesan tampaknya hanya tersisa dua teguk saja. Sepertinya ia sudah menungguku lama.
“Kamu ada masalah apalagi, Vani?” Aku duduk menghampirinya. Pandangannya hanya teralihkan padaku tak kurang dari dua detik sebelum ia kembali menatap air mancur di balik jendela kaca.
“Kak Tio, menurutmu apakah hubunganku sama Rivan masih layak dipertahankan?” Aku terhenyak. Meski sejak awal aku sudah menduga permasalahannya namun aku tak percaya dia punya pikiran untuk mengakhiri hubungannya.
Rivan memang terkenal dengan wajahnya yang lumayan, maka ia sering memanfaatkan tampangnya untuk menggoda cewek-cewek. Meski secara resmi ia pacarnya Vani, ia sering kali kepergok sedang dengan cewek lain. Rivan memang sering meminta maaf, namun beberapa hari berselang, sedikitpun kekhilafan tak membekas. Aku sendiri menaruh iba ke pada Vani yang menurutku cintanyalah yang paling tulus.
Pernah dulu ia donorkan darahnya kepada Papa Rivan pasca kecelakaan. Padahal menurut dokter, Vani sedang tidak dalam kondisi terbaik untuk mendonorkan darah. Namun Vani tetap memaksa demi melihat Papa Rivan kembali sehat dan pulih.
Semakin lama pipi Vani basah. Ia keluarkan semua air matanya bersama dengan perasaan hati yang ia ungkapkan padaku.
Kamu wanita baik, Vani. Kamu tak layak untuk terus disakiti. Tanganku bergerak mengusap air matanya yang semakin deras. Semua terjadi begitu saja. Lalu tangannya memegang tanganku yang masih menempel di pipinya.
“Kalau ini memang yang terbaik izinkanlah aku menggantikan posisi Rivan di sisimu. Maukah kamu menjadi kekasihku?”
Aku benar-benar tak menyadari apa yang baru saja terucap. Gugup. Tangan ku lepas seketika.
“ EH... HMM... Maaf, Vani, aku tak bermaksud... Aku hanya tak ingin kamu terus disakiti.”
Vani pun terdiam kaget. Barangkali ia juga tak percaya dengan apa yang barusaja ku ucap. Di balik sorot matanaya ku pandang bayang-bayang Ratna tersenyum.
Malam itu, di cafe hanya tinggal beberapa orang saja. Namun alunan musik roman masih mendengung di ruangan. Vani bersandar di pundakku denagn sisa air mata.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete