Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
Lapak 'Sharing' Sorang Santri Indonesia di Maroko
in feeds

Biografi KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah



Masa Kecil
KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah yang lahir di desa Kajen pada tanggal 26 Desember 1966  ini  merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Ketika kanak-kanak beliau biasa dipanggil kak Uddin oleh adik-adiknya. Dia dikenal seorang sosok pendiam, tidak banyak bermain sebagaimana
yang dilakukan anak-anak pada umumnya.[1]
Anak dari pasangan Mbah H. Miftah dan Mbah Hj. Muznah ini sudah terbiasa mendapatkan pendidikan yang keras dari orang tuanya, sehingga beliau menjadi pribadi yang disiplin, rajin, dan senantiasa menjalankan syari’at agama. Mbah Miftah berprinsip “pokok’e anak-anakku ojo nganti ngelanggar syari’at” begitulah pola pendidikan yang diterapkan terhadap putra-putrinya.[2]
Nasab KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah dari jalur ayah, yaitu Bin H. Mifftah Bin KH. Mustaghfiri. Setelah itu sudah tidak diketahui lagi nasab dan keluarga KH. Mustaghfiri, karena beliau enggan bercerita tentang silsilah nasab dan keluarganya. Dahulu Mbah Mustaghfiri adalah seorang pelancong yang turut berusaha melawan penjajah di desa Kajen dengan motif  berjualan tembakau. Mengetahui mbah Mustaghfiri adalah seorang hamilul Qur’an kiai setempat menjodohkan beliau dengan seorang gadis yang bernama Nyai Thohirotun, yang merupakan keturunan KH. Ahmad Mutamakkin, salah seorang wali di desa Kajen.[3]

Ingin dapat beasiswa di Maroko? baca selengkapnya Informasi Beasiswa S1 Maroko

Jadi jalur nasab KH. Ahmad Syafi’uddin Miftahyang bermuara pada KH. Ahmad Mutamakkin adalah melalui H. Miftah bin Thohirotun binti KH. Ibrohim bin Samiroh binti Na’imah binti Moh Sholeh bin Jiroh (Moh. Wira’i) binti Alfiyah (Nyai Godeg) binti KH. Ahmad Mutamakkin.[4]




Perjalanan Mencari Ilmu
            KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah mulai menghafal Al-Qur’an sejak kelas 4 MI dalam usia 9 tahun di bawah asuhan Mbah Abdullah Zain Salam.[5] Oleh Mbah Dullah beliau tidak hanya sekedar diposisikan sebagai santri akan tetapi juga diangkat sebagai anak. Sepulang sekolah beliau beraktifitas dirumah, lalu sore dan malamnya berada di ndalem Mbah Dullah. Beliau dikenal sebagai anak yang penakut. Seperti ketika senja mulai datang saat hendak berangkat mengaji, beliau tidak berani berangkat seorang diri dan harus ditemani oleh sang adik.[6]
            Cukup tiga tahun baginya untuk menghafalkan al-Qur’an bersama Mbah Dullah. Setelah lulus MI sekaligus khatam Al-Qur’an, beliau diutus untuk tabarukan bersama KH. Arwani Amin di Kudus.[7]
            Setahun kemudian, beliau melanjutkan  pendidikan formalnya di Madrasah Tsanawiyah  Mathali’ul Falah sampai jenjang Madrasah Aliyah. Dahulu beliau termasuk al-hafidz yang paling muda. Oleh Mbah Dullah beliau sering diajak khataman. Di kelas, beliau juga termasuk siswa yang berprestasi dan aktif dalam organisasi. Saat menjelang ujian kawan-kawannya berkumpul di rumahnya untuk belajar bersama dan beliau dipinta untuk memimpinnya.[8]
            Lulus Madrasah Aliyah, beliau ditawari oleh saudaranya untuk melamar menjadi pegawai negeri di kantor Departemen Agama Pati. Di tengah perjalanan ketika hendak berangkat ke Pati, beliau bersua dengan Mbah Dullah. Setelah baliau menyampaikan maksud dan tujuan keberangkatannya, Mbah Dullah tidak merestui dan menyuruhnya kembali pulang.[9]
            Beliau juga pernah mengutarakan niatnya kepada Mbah Dullah untuk melanjutkan belajar di Timur Tengah. Namun entah mengapa, Mbah Dullah marah dan tidak merestuinya lagi. “Kue nek sekolah neng timur tengah, tak dungakno ndasmu pecah! kue neng Timur Tengah oleh, angger nek wayah kaji tok.” terangnya.[10]
            Mbah Dullah menyarankan beliau agar melanjutkan rihlah Ilmiyahnya di Sarang atau Ploso. Ketika disuruh  memilih, beliau justru menyerahkan pilihan sepenuhnya kepada Mbah Dullah. “kulo nderekaken panjenengan mawon,  Mbah.[11] pasrahnya. Disinilah nilai ketaatan yang selalu diaplikasikan dalam proses tholabul ‘ilmi. Prinsip Sami’na Wa Atho’na sudah melekat kuat dalam hati. Bahkan untuk hal remeh sekalipun, seperti ketika nderes, beliau disarankan untuk menempati tempat tertentu. Beliau hanya mengestukan dan selalu nderes ditempat yang dimaksud.
            Akhirnya beliau melanjutkan studinya di Pondok Al-Falah Ploso, Kediri. Ada hal menarik ketika beliau ngudi ilmu di Ploso. Sebelum berangkat, beliau dipesani leh Mbah Dullah, ”Kue nek neng kono dikon mondok tok, ora dikon mulang, muleh wae!” . dan entah mengapa dan bagaiman, beliau langsung disusuruh mengajar di sana. Beliau sangat mahir dalam bidang Al-Qur’an dan kitab kuning.[12]
            Mengingat kondisi ekonomi keluarga yang serba pas-pasan dan masih adanya enam orang adik, maka seluruh biaya mondok ditanggung oleh Mbah Dullah. Ketika menerima kiriman wesel, tertanda pengirim adalah nama Mbah Dullah, sehingga semuanya berasumsi bahwa beliau adalah putra dari Mbah Dullah. Beliaupun mendapatkan posisi yang mulia disisi kawan-kawannya, sering dicucikan pakaiannya,  dimasakkan kawannya, dan ditraktir makan. Dari situ uang sakunpun masih utuh dan digunakan untuk membeli berbagai kitab. Selain dikalangan santri, beliau juga mendapatkan kedudukan tinggi di mata sang Kiai. Karena kemampuannya, beliau dipasrahi oleh Kiai Munif Jazuli untuk mengajar membaca Al-Qur’an Putra dan Putrinya yakni Gus Nu’man dan Ning Kuni. Beliaupun mendapatkan kebebasan dari Kiai Munif untuk tidak mengikuti pengajian yang diadakan pesantren. Bahkan beliau mendapatkan jaminan dari sang kiai, “kue ora usah melu ngaji, tak jamin bakale kue iso moco kabeh kitab kuning”. Tuturnya.[13]
            Empat tahun sudah berlalu, pencarian ilmu di Ploso telah usai. Pada tahun 1992 beliau boyong ke Kajen dan mendapat mandat untuk menjadi imam di masjid Kajen, meneruskan tugas sang kakek, KH. Mustaghfiri. Tugas imam masjid memang berlaku turun-temurun. Akan tetapi karena ayahanda beliau merupakan seorang pegawai negeri yang notabene masih kurang terpercaya untuk menjadi seorang imam, maka vakum.[14]
            Kemudian oleh Mbah Dullah, beliau diberi amanat untuk berkhidmah di Perguruan Islam Mathali’ul Falah pada tahun 1994. 



Penikahan Yang Murni                   
            26 juli 1996, tepat  pukul lima sore di kediaman Mbah Abdullah Zein Salam, janji suci itu terucapkan. Janji suci antara dua anak manusia yang bernama Ahmad Syafi’uddin Bin Miftah Kajen dan Umi Zumrotus Sholihah Binti Abdullah Nur Salam Tayu. Mempelai dari kedua belah pihak belum pernah berjumpa sebelumnya. Hanya hari itu keduannya bersandingan dan bersalaman namun karena remang-remangnya sinar lampu pada masa itu, mereka tidak bisa mengetahui wajah asli satu sama lain. Saat itu yang bisa dilihat sang istri hanya tangan, manakala bersalaman untuk yang pertama kalinya. Karena tidak berani menatap langsung wajahnya dan saking minimnya pencahayaan, kesan pertama sang istri,Tangane kok ireng, yo?” Gumamnya dalam hati.[15]
Jauh sebelum akad itu terlaksana, mempelai pria sudah pernah ditawari tujuh gadis, namun tak satupun yang melekat dihati. Akhirnya Nyi Ruroh, Sapaan Ibunda Umi Zumrotus Sholihah ditimbali Mbah Dullah, dan beliau berkata“Nyi,Umi  anakmu dadikno nganten wae ambi anakku.
 “Lho Mbah, kadose putrane njenengan mpun nikah sedanten kok”Tutur Nyi Ruroh.
“Ora... Iku ijeh ono siji, syafi’uddin. Tepis Mbah Dullah
            Sebelumnya, KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah terkena penyakit liver hingga tak kuasa lagi untuk berdiri. Sangat berat bagi sang bunda, Mbah Muznah, karena kondisi telah hidup menjanda. Untuk biaya keperluan sehari-hari saja susah apalagi untuk pengobatan. Akhirnya putra Mbah Dullah, Buya Minan dan Abah Zaki yang membantu pengobatan beliau. Disela-sela proses pengobatan, Buya Minan memberi guyonan, Din, nek mari langsung nikah wae![16]
            Hanya Perlu dua hari, proses pernikahan itu terjadi, tidak ada waktu untuk persiapan bagi keduanya. Tidak ada lamaran, tidak ada ta’arufan, dan lain-lain. Hingga menimbulkan perasaan was-was dalam hati mempelai wanita. Saat itu beliau yang masih menjadi santriwati Buya, matur sambil guyonan,
 “Buya, nek kulo mboten cocok, nek kulo mboten purun pripun”?. 
“Ora-Ora... angger wong ae gelem kok !” Tandas Buya.
 Pada hari itu terdapat empat pasangan menikah. Untuk pertama kalinya Mbah Dullah menikahkan secara masal di kediamannya. Setelah akad nikah terucapkan memepelai pria pulang ke ndalem Tayu. Anehnya, ketika Nyi Ruroh ditanyai oleh para tetangga dan kerabatnya di Tayu mengenai Menantunya yang khafidz, Imam masjid Kajen dan pengajar di PIM itu, beliau tidak mengetahui rupa dan wajahnya sama sekali. Akhirnya di antara kerumunan orang banyak ada seorang laki-laki yang mengahmpiri Nyi Ruroh dan bersalaman mencium tangannya. Inilah menantuku, anak dari wali Allah Syekh Abdullah Salam.[17]

Hidup Berumah Tangga
Dalam mendidik sang anak, Abi, panggilan akrab keluarga enggan menerapkan sistem pendidikan keras sebagiaman pendidikan yang beliau peroleh dari ayahanda. Beliau lebih terkesan lentur dan lunak, seperti membiarkan sang anak, Gus Kiki bermain leluasa dan tidak membebaninya untuk mewajibkan menghafal Al-Qur’an sejak kecil.[18] Namun beliau tetap memberikan teguran jikalau Gus Kiki sampai lengah dan lalai terhadap kewajibannya. Hal itu menuntut Gus Kiki untuk hidup lebih mandiri, berfikir dewasa, serta mampu memilah hal-hal yang sudah semestinya dilakukan.[19]
Beliau juga sangat bertanggung jawab terhadap keluarga. Dengan sang istri beliau menerapkan prinsip saling menyayangi, saling mencintai, saling pengertian dan saling mengalah untuk memenuhi keinginan satu sama lain. Sehingga kondisi rumah tangga selalu terjaga keharmonisannya.[20]





Dalam segala persoalan, Abi tak pernah menganggap remeh apapun. Beliau selalu teliti dalam mengatur waktu, interior, kebersihan, makanan, dan istirahat. Abi merupakan tipe orang yang perfectsionist. Selalu berfikir yang terbaik bagi semua hal. Meskipun kondisi kesehatan beliau terganggu.[21]
Dalam kehidupan bermasyarakat, beliau dikenal sebagai sosok yang ringan tangan dan ringan hati. Meskipun usianya masih relatif muda, namun beliau dituakan oleh masyarakat sekitar. Sering dipinta memimpin kegiatan-kegiatan keislaman seperti tahlil, manaqib, dan khataman.[22]




Merintis Sebuah Pesantren
          Pada mulanya, KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah tidak mempunyai rencana mendirikan pondok pesantren, semata ingin menemani atau membimbing mereka, santri-santri yang satu persatu daftar mengaji. Dan ternyata banyak yang berkeinginan untuk mempelajari atau menghafal Al-Qur’an secara bersama-sama. Kala itu beliau yang masih perjaka mulai mendapatkan lisensi dari Mbah Dullah untuk mempunyai santri, tepatnya pada tahun 1994. Dahulu santri yang berjumlah empat orang berdomisili di sebuah gubug keci.[23] Akhirnya untuk mempermudah proses menghafal Al-Qur’an, beliau membuat sedikit demi sedikit kemajuan dalam program kegiatan dan tata administrasi.
Secara historis, sang kakek, KH Ahmad Mustaghfiri adalah salah satu tokoh masyarakat di desa Kajen. Beliau termasuk seorang hamilul Qur’an, khotib dan imam masjid jami’ Kajen. Beliau bercita-cita untuk mendirikan pondok pesantren. Karena mendapatkan musibah kebakaran, maka cita-cita luhur tersebut belum sempat terealisasikan.[24]
 Tahun berganti tahun. Santri mulai berdatangan dari pelbagai daerah. Atas inisiatif dan arahan dari KH Abdullah salam, beliau KH Ahmad Syafi’uddin Miftah mendirikan sebuah Majlis Ta’lim yang lebih layak dari sebelumnya yang bernam MTDQ (Majlis Ta’lim wat Tahfidz Dhiya’ul Qur’an) pada tahun 2004. Sejak itulah MTDQ mulai menunjukkan eksistensinya sebagai Majlis Ta’lim yang senantiasa berkembang dari masa kemasa.[25]

Ikhlas, Kunci Tholabul Ilmi
KH.Ahmad Syafi’uddin adalah seorang yang teguh memegang prinsip-prinsip  keagamaan terutama bidang tasawuf. Kata beliau dasar dari pendidikan pesantren adalah tentang keikhlasan, baik dari pendiri, pengampu, para santri maupun wali santri. Pesantren yang dibangun haruslah bersih “murni”, baik infrastruktur bangunan, makanan, serta aturan  yang membentuk karakter seorang santri menuju insan sholih dan akrom. Dengan bangunan yang bersih, dalam artian bangunan tersebut bukan dari hasil suatu perkara yang syubhat seperti mengajukan sebuah proposal, akan mumbuat anak didik merasa nyaman dan taat, walaupun secara kasat mata bangunan tidak representatif dan kurang memadai.
Beliau juga mempunyai keinginan luhur untuk memberikan sumbangsih dan dedikasi terhadap agama, nusa dan bangsa dalam bingkai pembekalan ilmu dan pembentukan karakter serta kepribadian yang islami nan Qur’ani. Oleh karena itu, kebodohan dan keterbelakangan membutuhkan insan-insan yang bertanggung jawab serta mampu mengangkat martabat indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim.[26]
KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah sangat mengedepankan kualitas santri daripada kuantitas. Minimnya santri namun disertai dengan karakter yang mulia, itu lebih baik dibandingkan dengan banyak santri namun bermoral rendah. Terhadap santri yang berlaku buruk dan sulit diatur, beliau tak segan-segan mengundang wali santri untuk menawarkan komitmen perubahan. Jika tidak sanggup maka santri diperkenankan hengkang dari pesantren.
Sebagai seorang pengasuh, beliau sangat perhatian terhadap santri-santrinya. Beliau juga sering turun tangan untuk mengurusi santri. Bahkan prinsipnya 75% tenaga dan fikirannya diprioritaskan untuk santri. Sehingga mendapatkan apresiasi dan perhatian khusus dari khalyak.[27]



Istiqomah Dalam Segala Hal
           KH.Ahmad Syafi’uddin merupakan sosok kiai yang istiqomah, baik ibadah wajib ataupun ibadah sunnah. Apabila beliau telah memilih suatu pekerjaan untuk dikerjakan, maka pekerjaan tersebut akan beliau lakukan dengan istiqomah. Beliau selalu rutin sholat tahajud, baik itu di rumah ataupun sedang bertamu dirumah seseorang, baik cuaca hujan ataupun tidak, bahkan sampai sakitpun beliau tetap memakasakan untuk sholat tahajud. Karena beliau mempunyai pegangan tahajud merupakan sholat sunah yang seakan seperti sholat fardlu.[28]
Hikmah dibalik sholat tahajud itu sangat banyak. “Sak pore” Tutur Abi. Karena ada orang yang pernah bilang kepada beliau, bahwasanya rumah yang dihuni oleh beliau senantiasa mencorong setiap malam, memancarkan cahaya yang sangat terang. Lalu Abi berfikir, “kiro-kiro kenopo,yo”? Menjawab pertanyaan tersebut, Abi meyakini bahwa itu hikmah dibalik sholat tahajud yang beliau kerjakan setiap malam dan dikerjakan oleh para santri setiap malam selasa dan malam jum’at. Hingga pesan beliau yang terakhir adalah “jangan sampai lewatkan mujahadah (sholat tahajjut)[29]
Menurut keterangan bapak Suhaili, Abi adalah sosok yang luar biasa dalam hal keistiqomahannya. Beliau yang sudah lama mengaji Al-Qur’an dengan Abi, sangat terkesan saat abi mulai sakit keras dan tetap mau ngucal ngaji. Padahal sudah dua bulan Abi tidak bisa tidur di malam hari dan baru bisa tidur kala shubuh tiba. Mengetahui akan hal itu, pak Suhailipun merasa tidak enak akan kedatangannya yang pagi-pagi dan merasa telah menyita waktu istirahatnya. “Mpun aa yi, ngaose prei mawon.” Pinta pak Suhaili. Namun Abi tetap bersikeras agar ngajinya dilanjutkan.[30]
Istiqomah juga tidak hanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan ibadah. Di luar ibadahpun bisa dikerjakan seperti halnya mandi, makan, bersantai sampai jalan-jalan. Karena dengan istiqomah kita bisa memenej waktu hingga teratur dan akhirnya pikiran kita tenang. Itulah kunci kebahagiaan.[31]

Tegas, Tanpa Kompromi.
            Sebagai seorang muslim sekaligus seorang yang alim dalam keilmuannya, beliau sangat tegas dalam menentukan suatu perkara. Tidak kenal kompromi dan teguh dalam pendirian selama hal itu sejalan dengan Al-Qur’an, Hadist dan ada hal yang lebih diprioritaskan lainnya
Dahulu Lek Didik, adik beliau pernah membentuk komunitas lintas agama dan budaya bernama KALIMASADA. Komunitas ini bersifat universal, terbuka bagi siapa saja tanpa memandang bangsa, agama, ras, dan suku. Adapun kegiatan rutin komunitas ini ialah debat dan diskusi yang dilakukan setelah sholat jum’at. Mengetahui akan kegiatan adiknya, Abi menegur dan meninta agar komunitas tersebut dibubarkan karena biar bagaimanapun bergaul dengan orang non islam (kafir) itu sangat tidak baik dan beliau sangat khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena dalam Al-Qur’an telah disebutkan:
ولن ترضى عنك اليهود ولا النصارى حتى تتبع ملتهم (البقرة: 120)
“Wong kang kekancan karo wong kafir, kui iso ditusuk dari belakang”. Tandasnya.[32]
            Saat momen Idul Fitri tiba, biasanya keluarga sang istri, Bu Umi berkumpul di Tayu, bersilaturrahmi dan melepas rindu bersama keluarga. Namun Abi pasti melarang Bu Umi untuk Berlama-lama berkumpul, apa lagi sampai bermalam. Meskipun Bu Umi terasa sangat berat dengan keputusan Abi, akan tetapi seiring berjalannya waktu Bu Umi mulai mengerti dan memahami, ternyata keputusan Abi itu lebih tepat. Karena ada hal yang jauh lebih penting dan diprioritaskan di rumah.[33]



Kedekatan Dengan Sang Idola
            Abi sangat dekat dengan guru sekaligus Idolanya, yaitu hadrotus syaikh Abdullah Zain Salam. Beliau selalu taat dengan apa yang dikatakan oleh Mbah Dullah. Ketika Abi menunaikan ibadah haji yang pertama kali pada tahun 2003, beliau melihat seorang penjual peralatan haji di depan Masjidil Harom yang  mirip dengan sosok Mbah Dullah. Lalu beliau mencoba membeli peci di sana. Ketika ditanyai, penjual itu hanya diam dan mengangguk. Ketika Abi menawar harga, penjual itu tetap terdiam dan hanya mengangguk.
            Seseaat setelah abi berada di penginapan, beliau merasa ada hal yang mengganjal. Abi mencoba memastikan kembali tentang penjual tersebut, namun ternyata di sana sudah tidak ada. Abi juga sering bermimpi bertemu dengan Mbah Dullah, bahkan pernah bermimpi sampai mengcup dada hadrotus syeikh Abdullah Zain Salam.[34]

Dihantui Penyakit Ganas
            Bermula pada tahun 2003 ketika KH. Ahmad Syafi’uddin hendak menjalankan rukun islam yang kelima, penyakit diabetes militus stadium rendah terkuak, setelah ada pemeriksaan kesehatan calon jamaah haji. Akan tetapi  kesehatan beliau masih baik-baik saja, karena beliau sering berolahraga, rutin meminum air putih ketika hendak tidur ataupun bangun tidur. Namun penyakit tersebut semakin parah.  Beliau banyak mengkonsumsi obat shingga membuat ginjalnya tidak kuat. Kemudian pada tahun 2013 setelah menjalani beberapa serangkaian tes kesehatan di RSUD Pati, beliau menderita penyakit gagal ginjal, hingga beliau harus menjalani terapi hemo dialisa (cuci darah) setiap seminggu sekali.[35]
            Untuk menghadapi penyakit yang menghantui, beliau banyak berikhtiyar melalui segi medis maupun non medis. Seperti pengobatan cina, pengobatan tradisional dan pengobatan alternatif lainnya. Pengobatan tersebut tidak hanya di dalam kota, bahkan sampai ke luar kota, seperti daerah  kudus, semarang, magelang, hingga jogjapun ditempuh demi kesehatannya pulih kembali.
            Dari banyaknya teman, saudara dan kerabat hanya sedikit dari mereka yang mengetahui bahwa Abi menderita sakit keras. Tetapi beliau selalu terlihat tegar, tenang dan tidak menampkkan penderitaan yang tengah dialami. Bahkan ketika ada seseorang yang bertamu di ndalemnya, walaupun beliau sakit selalu berusaha melayani tamunya sebaik mungkin. Karena beliau berpegang pada sebuah hadist:
 "من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه" (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR.Bukhori dan Muslim)

Akhir Hayat
            Setelah merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-69, malam ke-18 bulan Agustus beliau merencanakan esok harinya akan berobat ke Kendal, karena malam harinya Abi muntah-muntah dan kakinya lebam. Hal itu mengindikasikan bahwa penyakit beliau benar-benar memuncak.
            Sekitar pukul 07.00 WIB beliau akan berangkat berobat ke daerah Kendal dengan optimisme kesembuhan. Namun sebelum semua itu, ada hal aneh yang sedikit mengganjal. Beliau berpamitan kepada sang ibunda, Mbah Muznah sampai 3 kali seraya berkata Buk, Aku pamitan riyen.” Setelah berpamitan yang penuh tanda tanya itu, beliau berniat langsung menuju kekendaraan namun hanya beberapa langkah dari sang ibunda, beliau muntah-muntah lagi, sampai tidak ada lagi sesuatu yang bisa dimuntahkan. “wajahnya begitu pucat.Tukas Kang Azib, supir pribadi Abi.
            Bertolak dari Kajen menuju Kendal, banyak harapan yang digantungkan disana. Akan tetapi baru sampai di daerah Sayung, Demak, beliau sudah tidak sadarkan diri. Lupa dengan sekelilingnya, termasuk lupa dengan Bu Umi, Istrinya sendiri. Akhirnya Bu Umi memutuskan untuk kembali ke Pati menuju KSH.
            Beliau koma selama 3 hari. Menurut keterangan dokter, racun yang ada di dalam ginjal sudah menyebar ke seluruh tubuh, dengan indikasi sebagian organ tubuhnya membengkak. “Biasanya dua hari lagi pasien akan siuman, Bu” begitulah cara dokter untuk mentrentamkan hati Bu Umi.
            Rabu Siang, 20 Agustus 2014, sekitar pukul 13.00,  kabar duka menghampiri Bu Umi. Sang bunda harus pergi menghadap Allah SWT. Saat-saat seperti ini, Bu Umi mengalami dilema yang luar biasa. Di satu sisi, sang suami sedang terbaring lemah, yang sangat membutuhkan pendampingan sang istri, dan di sisi lain, orang yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidiknya telah pergi untuk selama-lamanya. Suami yang mendapat posisi kedua setelah Allah ataukah sang bunda yang mendapatkan penghormatan tiga kali sebelum ayah?  Akhirnya  Bu Umi memutuskan untuk tetap melayat sang bunda meskipun tidak sampai pada proses pemakaman.
Di luar dugaan, malam harinya sekitar pukul 20.00, kiai muda Kajen itu menyusul ibu mertua untuk pulang kepangkuan-Nya. Wajahnya begitu tenang sedikit tersenyum. Seakan ada siratan surga dalam perjalanannya. Hari itu Rabu, Tanggal 20 Agustus 2014 M. Air mata membanjiri daerah Kajen dan sekitarnya. Alampun tertunduk menghantar kepergiannya. Inna lillahi wa inna lillaihi roji’un.

Tamu Misterius
            Suatu malam setelah 40 hari wafatnya KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah. Keluarga Almarhum kedatangan seorang laki-laki misterius yang berpakaian serba hitam dan berparas ketimur tengahan. Lelaki itu mengaku sebagai seorang Habib yang berasal dari daerah Malang, Jawa Timur. Habib itu bernama Muhammad As-Seggaf. Padahal menurut pendapat dan pengakuan Bu Umi, Abi tidak pernah memiliki kawan ataupun berkenalkan seorang habib.
            Habib Muhammad tersebut mengutarakan maksud dan tujuannya bertamu dan bersilatur rahim. Ketika berbincang-bincang dengan keluarga almarhum, Beliau mengatakan bahwa almarhum adalah sosok kiai yang baik, ikhlas dan istiqomah. Bahkan beliau juga berkomentar bahwa Abi termasuk satu dari empat kiai muda yang paling ikhlas di daerah Pati.[36]
            Setelah bersilatur rahim, beliau meminta Gus Kiki agar menghantarkannya ke maqbaroh KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah padahal jarum jam menunjukkan sekitar pukul satu dini hari.
            Menurut keterangan ulama’ ahli hikmah, sebenarnya Habib Muhammad As-Seggaf tersebut sudah Wafat. Namun entah bagaimana keadaan sebenarnya.[37] Wallahu A’lam.





KH. AHMAD SYAFU’UDDIN MIFTAH DI MATA MEREKA
      Bila diperkenankan bersujud selain Robbku, Abilah yang berhak menerima sujudku. Suami sekaligus panutan bagiku, guruku, pendekar agama, berprinsip kuat dan penyayang keluarga.” (Sang Istri, Umi Zumrotus Sholihah)
         Tidak hanya sekedar ayah, Abi adalah pemandu spiritualku. Bertanggung  jawab dan sayang keluarga” (Sang Anak, Gus Muhammad Jauhar fikri al-Hakim)
Kak Uddin adalah kakak sekaligus panutan dan motivator bagi kami. Beliau sangat peduli terhadap adik-adiknya”(Sang adik, Ahmad Syadiduddin Miftah)
 Beliau adalah sosok yang ramah, disiplin, tegas, pemurah hati, organisator, ringan hati dan ringan tangan”(Bapak Puji , Ketua RT 02/2 Kajen )
“Abi adalah sosok pribadi yang perfect dan perfectsionist, tegas dan tidak kenal kompromi. Apalagi dalam hal mengaji, sedikitpun tak boleh kurang. Dan ini berdampak besar untuk kebaikan santri di masa selanjutnya”  (Qosim Nur Seha, Santri Sekaligus Tim Penulis)
“Beliau adalah sosok yang elegan lagi berwibawa” (Harist jr, Santri Sekaligus tim penulis)
            Meskipun saya adalah santri baru yang belum sempat berguru satu hurufpun kepada beliau, KH. Ahmad syafi’uddin, namun saya yakin dengan nyantri saya bersama beliau” (Muhammad Nurul Fu’ad, Santri)
Abi adalah figur yang disiplin, sederhana, inspiratif, mendidik santri agar lebih baik dan berakhlaqul karimah. Satu pesan dan nasihat beliau yang kami ingat; belajar dan berkhidmah.” (Nor Aini Wardah , Santriwati Ndalem)
“Saya sangat berkesan dengan cara mengajar beliau yang santai namun pasti, menggunakan bahasa yang mudah diserap dipadukan dengan candaan yang membuat suasana kelas serasa cair sehingga pemahaman semakin cepat” (Ainul Yaqin, Siswa Perguruan Islam Mathali’ul Falah)




Sumber: 
Sanad Posonan MTDQ, 1435 H.
Sejarah dan Silsilah Keluarga BANU IBROHIM.
Wawancara dengan Ibu Nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.
Wawancara dengan Bpk. Ahmad Fariduddin Miftah, 7 dan 9 Januari 2015.
Wawancara dengan Bpk. Ahmad Sadiduddin Miftah, 30 Desember 2014.
Wawancara dengan Gus Muhammad Jauhar Fikry Al-Hakim Syafi’, 7 Januari 2015.
Wawancara dengan Bpk. Puji, ketua RT 02/02 Kajen, 30 Desember 2014.
Wawancara dengan Muhammad Azib Mabrur, 5 Januari 2015
Wawancara dengan Muhammad Choirun Nidhom, 9 Januari 2015.
Sambutan Bapak Suhaili dalam acara peringatan 100hari wafatnya KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah dan Hj. Masruroh, 1 Desember 2014.


[1] . Wawancara dengan Bpk. Ahmad Fariduddin Miftah, 7 dan 9 Januari 2015
[2] . Wawancara dengan Bpk. Ahmad Sadiduddin Miftah, 30 Desember 2014.
[3] . Wawancara dengan Bpk. Ahmad Fariduddin Miftah, 7 dan 9 Januari 2015
[4] . Sejarah dan Silsilah Keluarga Banu Ibrohim. Hal: 9
[5] . Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.
[6]. Wawancara dengan Bpk. Ahmad Sadiduddin Miftah, 30 Desember 2014.
[7] . Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.
[8] . Wawancara dengan Bpk. Ahmad Sadiduddin Miftah, 30 Desember 2014
[9] .  Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015
[10] . ibid
[11] . Ibid.
[12] . Wawancara dengan Bpk. Ahmad Sadiduddin Miftah, 30 Desember 2014
[13] . Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.
[14] . Ibid.

[15] . Ibid.
[16] . Ibid.

[17] . Ibid.
[18] . Ibid.
[19] . Wawancara dengan Gus Muhammad Jauhar Fikry Al-Hakim Syafi’, 7 Januari 2015
[20] . Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.
[21] . Wawancara dengan Gus Muhammad Jauhar Fikry Al-Hakim Syafi’, 7 Januari 2015
[22] . Wawancara dengan Bpk. Puji, ketua RT 02/02 Kajen, 30 Desember 2014
[23] . Sanad Posonan MTDQ, 1435 H. Hal. 4
[24] . Ibid
[25] . Ibid
[26] . Ibid
[27] . Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.
[28] . Ibid.
[29] . Wawancara dengan Muhammad Azib Mabrur, 5 Januari 2015
[30] . Sambutan Bapak Suhaili dalam acara peringatan 100 hari wafatnya KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah dan Hj. Masruroh, 1 Desember 2014.
[31] . Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.
[32] . Wawancara dengan Bpk. Ahmad Sadiduddin Miftah, 30 Desember 2014.
[33] . Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.
[34] .  Ibid.

[35] . Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.
[36] . Wawancara dengan Muhammad Choirun Nidhom, 9 Januari 2015.
[37] . Wawancara dengan ibu nyai Hj. Umi Zumrotus Sholihah syafi’, 6-8 Januari 2015.

** (Biografi ini meraih juara harapan III dalam lomba penulisan biografi Kiyai Kajen dan Sekitarnya dalam rangka Haul Kiyai Sahal yang pertama. Dipersembahkan oleh dua santrinya, Qosim Nur Seha dan Muhamad Harries)

Post a Comment for "Biografi KH. Ahmad Syafi’uddin Miftah"

[ klik disini 1X ] [ close ]