Krisis Adab
gambar: nassamothree.blogspot.com
Manakala saya sedang asyik menikmati musikdari gadget, tibalah seorang kawan lama menghampiri. Ia merupakan siswa salah satu SMK swasta di kotaku. Sambil basa – basi hendak mengikuti suasana, Ia pun bercerita singkat. Katanya, kemarin sepasang headset tak pernah terlepas dari telinganya saat jam pelajaran mulai pagi hingga siang. Sontak pengakuannya itu membuatku bertanya – tanya. Mengapa Ia begitu? Apa tidak ada guru? Mengapa tidak dimarahi? Dengan penuh percaya diri Ia berujar, “Memangnya berani Dia (guru)
marah sama saya? Dulu ketika dihukum saya beranikan diri untuk melawannya, dan Ia pun tak berani berbuat apa – apa. Ha ha ha!”
Mendengar cerita tersebut pasti mampu membuat jidat manapun menyerngit. Sebuah fenomena ironi yang menggambarkan kondisi buruk etika remaja Indonesia. Sebuah krisis adab yang melanda kaum muda kawasan negeri timur yang konon paling unggul etikanya dibandingkan dengan negeri di kawasan mamapun di muka bumi ini.
Saya yakin sekolah pasti tak pernah mengajarkan demikian terhadap siswa didiknya. Bahkan sebaliknya, guru pasti mengajarkan tata krama dan sopan santun terhadap seorang guru maupun orang yang lebih tua. Terdapat sebuah kitab klasik karya syekh Ibrahim bin Ismail yang mengupas tuntas etika dalam menempuh kegiatan belajar mengajar. Menjelaskan betapa bersekolah dan mencari ilmu adalah hal urgen. Pun menghormati guru, memulyakan kitab, buku, dan apapun yang berhubungan dengan transaksi keilmuan. Yang kesemuanya itu menjadi password bagi siapa saja yang hendak memasuki halaman kesuksesan dan keberhasilan.
Namun sayang, hanya sedikit remaja sekarang yang masih eksis dan consist dalam mengaplikasikan nilai – nilai yang terkandung dalam kitab tersebut. Itu pun sebatas remaja yang mengais ilmu di lembaga pendidikan klasik seperti pesantren. Mereka percaya bahwa yang demikian itu akan mengantarkan mereka pada kesuksesan dan keberkahan hidup.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi mayoritas remaja sekarang. Mereka seolah menjadikan ‘bersekolah’ hanya sebatas kegiatan formalitas semata. Berangkat sekolah, pulang, mengikuti ujian, memperoleh ijazah, selesai. Bahkan meraih selembar kertas yang dianggap menentukan karir, ijazah’ adalah satu – satunya tujuan. Tentu hal ini bisa membuat mereka rawan berbuat penyimpangan terhadap norma – norma yang ada.
Kondisi ini didukung dengan situasi berbagai sekolah tertentu. Maraknya sekolah yang bermunculan membuat mereka harus berebut siswa didik. Berlomba – lomba memberikan kemudahan terhadap calon siswa didiknya, menggratiskan biaya pendaftaran, seragam sekolah, tas serta piranti sekolah lainnya. Sehingga timbul kesan ‘sekolah mencari siswa’. Hal ini akan membuat siswa bertindak semaunya dan gemar melanggar peraturan sekolah. Asumsi mereka ‘sekolahlah yang membutuhkan mereka’. Jika dikeluarkan sekolah mereka tak perlu cemas karena masih banyak sekolah yang mau menerimanya.
Perlu kesadaran semua lini untuk mengatasi permasalahan ini. Bagi siswa harus benar – benar memahami tugas, kewajiban, dan larangan. Guru seharusnya tak perlu gentar menghukum siswa yang salah. Pemerintah sebaiknya tak perlu memberikan izin pendirian sekolah baru jika dalam satu desa atau wilayah sudah terdapat sekolah.
Memperbesar sekolah seharusnya lebih diutamakan daripada memperbanyak. Kiranya sekolah tak mampu lagi menampung siswa, pemerintah seharusnya mengucurkan dana lebih guna penambahan sarana dan fasilitas, bukan mendirikan sekolah baru. Pasalnya semakin banyak sekolah yang berdiri di kawasan agak berdekatan maka semakin sedikit sekolah mendapatkan siswa didik. Dalam kondisi seperti ini sekolah akan berusaha penuh untuk mempertahankan siswa didiknya bahkan yang seharusnya dikeluarkan sekalipun..
Semoga kita lekas berbenah agar mutu pendidikan Indonesia benar- benar berkualitas, moral remaja lebih terjaga dan kedaulatan guru terjunjung tinggi.
*Tulisan ini merupakan partisipan lomba penulisan essay remaja nasional di UNIPDU Jombang 2015.
Post a Comment for "Krisis Adab"