Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
Lapak 'Sharing' Sorang Santri Indonesia di Maroko
in feeds

Ironi Lembaga Pendidikan Yang Mata Duitan



gambar: merdeka.com





Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin senantiasa mengatur segala aspek kehidupan umatnya. Apalagi aspek pendidikan yang merupakan salah satu pilar utama agama. Tak mengherankan, begitu banyak pernyataan dan argumentasi dalam
al qur’an, hadits nabi, maupun kitab- kitab keagamaan yang secara khusus mengupas tuntas tentang pendidikan, baik tentang para perilaku pendidikan, tata krama, sampai dengan keutamaan pendidikan  itu sendiri.

Karena lembaga pendidikan menjadi salah satu pilar utama agama, maka sudah barang tentu mempunyai keterkaitan yang begitu erat dengan agama. Salah satu fungsinya yakni sebagai syi’ar dengan objek para generasi muda. Selain itu, pendidikan juga memang sudah menjadi tuntutan dalam agama. Tidak hanya pendidikan ukhrawi, pendidikan duniawipun tak kalah penting untuk dipelajari. Hal ini sebagaimana hadits yang disabdakan beliau Rasulullah SAW. ”mencari ilmu hukumnya wajib bagi muslim lelaki maupun perempuan, sejak dari turun ayunan hingga ke liang lahat”.

Namun sungguh disayangkan, lembaga pendidikan yang keberadaannya begitu diharapkan acapkali menggunakan kesempatan ini sebagai sarana meraup pundi-pundi rupiah. Hal yang paling menonjol dalam kejanggalan ini tampak jelas saat menjelang tahun ajaran baru. Para calon siswa berbondong-bondong mendatangi sekolah impian mereka dengan membawa biaya pendaftaran yang tidak sedikit. Bahkan kiranya biaya tersebut digunakan untuk keperluan sekolah selama setahun tak akan kurang.

Nasib malang harus menimpa para calon siswa yang nilai ujiannya kurang memenuhi standar. Mereka harus rela merogoh kocek lebih dalam lagi demi menikmati belajar di sekolah impian mereka.

Hal yang mampu membuat jidat lebih berkerut terjadi kepada para calon mahasiswa yang ingin mengeruk ilmu di perguruan tinggi. Betapa tidak? Untuk memasuki fakultas tertentu, tak sedikit dari mereka yang harus rela menjual tanah dan sawah karena biaya yang mencapai selangit, yakni ratusan juta rupiah.

Virus serupa nampaknya turut menjamur di kalangan madrasah-madrasah maupun sekolah-sekolah swasta, hanya saja motifnya berbeda. Seringkali sekolah-sekolah swasta mewajibkan iuran kepada siswanya padahal subsidi dari pemerintah sudah cukup melebihi kebutuhan. Entah dikemanakan uang tersebut?

Motif lain yang sering diberlakukan yaitu dengan membuat proposal  meminta bantuan sejumlah uang untuk keperluan menambah fasilitas atau keiatan ekstra para siswa. Bukan apa kiranya uang tersebut digunakan sebagaimana mestinya. Akan tetapi setelah proposal itu mendapatkan respon dan pundi-pundi rupiah telah berada di kantong, kenyataan berkata sebaliknya. Penambahan fasilitas dan kegiatan ekstra harus direlakan menjadi sebuah wacana belaka. Atau bilamana hal tersebut terealisasi, pihak sekolah secara sengaja seakan memberlakukan batasan bagi seluruh siswanya dalam penggunanaan fasilitas. Hal ini sudah barang tentu berimbas pada kemampuan siswa yang sulit tergali dan dikembangkan secara optimal. Sehingga timbul kesan program sekedar berjalan tanpa menyentuh aspek pengembangan kualitas yang diharapkan.

Realita di atas mungkin hanya sekedar secuil dari gambaran buruknya manajemen lembaga pendidikan  di indonesia. Fenomena tersebut tentu mampu menggugah asumsi negatif masyarakat luas. Timbul kesan  bahwa pendidikan tak boleh dinikmati oleh kaum yang tak berkantong tebal. Selain itu, sistem pendidikan yang seperti itu  akan melunturkan image pendidikan yang semestinya diberlakukan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.
Perlu digaris bawahi bahwa tidak semuanya lembaga pendidikan senegatif itu. Seperti halnya pesantren  yang masih tetap eksis dan berkomitmen dalam menjunjung tinggi nilai keikhlasan dan ketulusan  dalam mengemban amanat nasyr al-‘ilmi. Pesantren memang tidak membebaskan  biaya secara penuh melainkan hanya seperlunya dan sekadarnya saja. Karena tak bisa dipungkiri lagi  biaya pendidikan itu harus tetap ada dan diperlukan, mengingat adanya biaya merupakan  satu dari enam kunci keberhasilan dalam memperoleh ilmu.

Sebagai kesimpulan, benar tidaknya uraian di atas hanya sekedar buah pemikiran dari penulis yang buta akan kejadian sebenarnya. Penulis sebagai orang awam hanya mencoba mengamati kondisi eksternal saja. Padahal bisa jadi pungutan biaya tersebut benar-benar dibutuhkan seperti menutupi  biaya operasional dari pemerintah  yang belum cukup menunjang kebutuhan sekolah, keperluan pembangunan gedung, laboratorium, perpustakaan sekolah, dan sebagainya.

*Tulisan ini dimuat juga di Buletin AMANAT th 2013.

Post a Comment for "Ironi Lembaga Pendidikan Yang Mata Duitan"

[ klik disini 1X ] [ close ]